Posted on 14 April 2010 by Muhammad Yusuf
Tanggal 22 Maret setiap tahun mungkin tak memberi arti apa-apa bagi kita. Kita masih merasa hidup di daerah yang berlimpah air sehingga tanggal itu lewat begitu saja. Seharusnya pada tanggal itu, kita sebagai warga Indonesia maupun warga dunia tersadarkan bahwa ketersediaan air mulai bermasalah. Tanggal itu merupakan Hari Air Sedunia (World Water Day).TANGGAL itu mengisyaratkan, kita harus menyadari kalau ketersediaan air telah mengancam kesehatan masyarakat, mengancam stabilitas politik, dan juga mengancam lingkungan. Peringatan ini muncul dalam World Water Development Report (WWDR), sebuah laporan PBB mengenai ketersediaan air bersih dunia yang diluncurkan pada Third World Water Forum, tanggal 16-23 Maret 2003, di Jepang. Fakta-fakta tentang keadaan air di dunia terungkap dalam laporan itu.
Dalam laporan setebal 600 halaman itu disebutkan, meski jumlah air merupakan bagian terbesar di bumi, namun hanya 2,53 persennya merupakan air bersih. Sebanyak dua pertiga dari air bersih itu berupa sungai es (glaser) dan salju permanen yang sulit untuk dimanfaatkan.
Dari waktu ke waktu sumber daya air bersih makin berkurang akibat pertambahan penduduk. Air bersih juga terpolusi oleh kurang lebih dua juta ton sampah setiap hari. Polusi ini muncul dari kegiatan sektor industri, kotoran manusia, dan kegiatan sektor pertanian.
Tidak ada data yang pasti soal produksi limbah cair. Akan tetapi, salah satu sumber memperkirakan produksi limbah cair mencapai 1.500 kilometer kubik. Bila saja satu liter limbah cair mencemari delapan liter air bersih, maka setidaknya 12.000 kilometer kubik air bersih terpolusi di seluruh dunia.
Dampak dari perubahan iklim dunia terhadap sumber air belum diketahui secara pasti. Akan tetapi, estimasi terbaru menyebutkan, perubahan iklim global menyebabkan kelangkaan air global hingga 20 persen.
Pada pertengahan abad ini atau pada tahun 2050, setidaknya enam milyar manusia di 60 negara akan mengalami kelangkaan air bersih. Bahkan, dalam kurun waktu 20 tahun ke depan, laporan itu memprediksikan rata-rata pasokan air untuk tiap orang akan turun sepertiganya.
Berbagai penyakit juga muncul terkait dengan ketersediaan air di negara berkembang seperti diare, malaria, dan skabies (penyakit kulit-Red). Pada tahun 2000 setidaknya terdapat 2,2 juta kematian karena sanitasi air yang rendah. Sekitar satu juta manusia meninggal karena malaria.
Upaya yang bisa dilakukan untuk mengurangi berbagai penyakit melalui media air adalah dengan memperbaiki pasokan air bersih. Akan tetapi, pada kenyataannya masih terdapat 1,1 milyar penduduk dunia tidak bisa mendapatkan akses perbaikan pasokan air bersih.
Bila upaya perbaikan pasokan air dilakukan dengan sanitasi dasar, maka sebenarnya tingkat kematian karena minimnya pasokan air bersih bisa dikurangi sebanyak 17 persen per tahun. Sedangkan dengan perbaikan sanitasi lanjutan, maka tingkat kematian bisa dikurangi 70 persen per tahun.
LAPORAN itu juga menyebutkan masalah ketersediaan air akan berpengaruh pada pasokan pangan. Bumi yang dibiarkan begitu saja diperkirakan bisa memberi makan untuk 500 juta manusia.
Untuk itu dibutuhkan sistem pertanian yang memadai karena jumlah penduduk dunia mencapai sekitar enam milyar orang. Untuk menyediakan pangan sebanyak 2.800 kalori per orang per hari membutuhkan paling sedikit seribu kubik air.
Kebutuhan air untuk pertanian dipasok sebagian besar dari air hujan dan sebagian kecil dari irigasi. Namun, jumlah air untuk irigasi juga tidak mencukupi sehingga sumber air untuk irigasi juga berasal dari limbah cair. Paling tidak 10 persen dari lahan beririgasi di negara berkembang mendapat pasokan dari limbah cair.
Dibutuhkan investasi yang besar untuk membuat fasilitas irigasi. Setidaknya butuh 1.000 dollar AS hingga 10.000 dollar AS per hektar untuk membangun irigasi. Manfaatnya, ada hubungan yang positif antara investasi irigasi, ketahanan pangan, dan pengurangan kemiskinan.
Untuk kebutuhan irigasi, sebenarnya limbah cair harus diolah lebih dulu. Namun, di banyak negara berkembang air yang tercemar itu digunakan langsung untuk irigasi. Padahal cara seperti ini memiliki risiko bahwa air tersebut mengandung bakteri, cacing, virus dan logam berat yang berbahaya.
Mikroorganisme dan senyawa ini berbahaya bagi petani dan pengelola irigasi yang bersentuhan langsung dengan air itu, maupun para konsumen pangan yang mendapat pasokan pangan dari area pertanian tersebut. Tidak bisa disangkal, berbagai jenis penyakit dan logam berat berada di dalam produk-produk pangan..
Air juga terkait dengan masalah perkotaan. Saat ini sekitar 48 persen populasi dunia tinggal di perkotaan. Pada tahun 2030 diperkirakan persentase itu meningkat menjadi 60 persen. Kenaikan itu harus diikuti dengan penyediaan air dan sanitasi yang memadai, serta membutuhkan pengelolaan limbah secara memadai. Bila saja limbah tersebut tidak ditangani, maka hal itu menjadi ancaman bagi lingkungan.
Pengelolaan air bersih untuk perkotaan sangat kompleks karena harus memadukan kebutuhan air untuk penduduk dan industri, pengendalian polusi, membutuhkan penanganan limbah, mencegah banjir, dan menjaga kelestarian sumber daya air. Masalah ini bisa diselesaikan dengan melakukan kerja sama antarberbagai daerah yang memiliki kaitan dengan aliran sungai dan sumber air tanah.
Saat ini Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) membuat tolok ukur akses yang memadai untuk seorang penduduk mendapatkan air. Penduduk dikategorikan bisa mengakses penyediaan air bersih bila untuk mendapatkan 20 liter per hari harus berjalan kurang dari satu kilometer. Kenyataannya banyak penduduk yang tidak bisa mendapatkan akses dengan tolok ukur itu.
Penyediaan air bersih di negara dengan pendapatan yang rendah merupakan masalah yang besar. Kualitas penyediaan air sangat rendah sementara harganya sangat mahal, ketika penduduk harus membeli air dari tukang air bersih keliling.
Untuk menyediakan air bersih, fasilitas sanitasi, dan pengendalian banjir merupakan masalah yang penting bagi sebuah kota. Diperlukan zonasi untuk pembangunan perumahan dan industri agar tidak mengganggu sumber daya air. Akan tetapi, ini bukan hal yang mudah untuk sebuah kota yang memiliki pendapatan yang rendah.
Bukan hanya rumah tangga yang membutuhkan air bersih, industri pun membutuhkan air untuk bahan baku. Kebutuhan air untuk industri meningkat dari sekitar 725 kilometer kubik pada tahun 1995 dan diperkirakan menjadi 1.170 kilometer kubik pada tahun 2025. Peningkatan ini akan terjadi di negara-negara berkembang, di mana industrialisasi semakin meningkat.
Permasalahannya, permintaan dan produksi air untuk industri sebenarnya bisa dipecahkan. Caranya adalah dengan membuat proyeksi kebutuhan air oleh pelaku usaha dan pemerintah. Keduanya juga harus mengelola penyediaan air. Pengelolaan kebutuhan air harus dilakukan dengan meningkatkan efisiensi dan menurunkan polusi.
Sayangnya, air yang keluar dari industri biasanya memiliki kualitas yang rendah dan terpolusi, serta tanpa penanganan yang memadai. Air ini akan kembali masuk ke sungai-sungai kecil sehingga membebani penyediaan air bersih bagi penduduk di sekitarnya.
AIR juga menjadi sumber produksi energi. Pembangkit listrik dengan menggunakan tenaga air digunakan di banyak negara. Saat ini dua milyar manusia tidak mendapatkan listrik, satu milyar menggunakan listrik yang tidak ekonomis, dan 2,5 milyar penduduk mendapat akses terbatas dari penyediaan listrik.
Keberadaan listrik sangat membantu dalam mengurangi kemiskinan, membantu usaha kecil dan menengah, penyedia penerangan sehingga memungkinkan penduduk untuk belajar di malam hari, dan memperpanjang waktu untuk bekerja.
Pembangkit listrik tenaga air menyediakan sekitar 19 persen dari produksi total listrik pada tahun 2001. Penggunaan air untuk pembangkit listrik dapat mengurangi efek rumah kaca dan polusi udara.
Bencana yang disebabkan oleh air juga tidak sedikit. Lihat saja angka bencana alam, terdapat manusia yang menjadi korban bencana sekitar 211 juta per tahun. Sebanyak 90 persen dari korban bencana itu akibat air. Dengan rincian 50 persen merupakan korban banjir, 28 persen akibat penyakit dengan media air, dan 11 persen akibat kekeringan.
Jumlah kematian akibat bencana alam mencapai 665.000 jiwa, 15 persen di antaranya karena banjir, serta 42 persen akibat kekeringan. Jumlah kerugian akibat bencana itu naik dari 30 milyar dollar AS pada tahun 1990 menjadi 70 milyar dollar AS pada tahun 1999.
Kejadian ini mengindikasikan adanya kaitan antara sumber daya air dan investasi untuk pencegahan bencana, seperti pembuatan dam, perencanaan penggunaan lahan, dan peramalan banjir.
Dengan berbagai paparan di atas, PBB menyarankan Integrated Water Resources Management (manajemen pengelolaan sumber daya air secara terintegrasi). Cara-cara yang digunakan untuk mengurangi persaingan penggunaan air adalah dengan jalan membuat strategi nasional, alokasi air antarsektor, penanganan kualitas air, serta pengelolaan sistem penampungan air bersih.
Banyak perkembangan yang terjadi dengan air pada dekade ini. Air tidak hanya memiliki nilai ekonomis, tetapi juga memiliki nilai sosial, religius, kultural, dan lingkungan. Konsep keadilan dalam penggunaan air adalah memaksimalkan penggunaan air untuk kepentingan semuanya, sambil menyediakan akses untuk penduduk dan meningkatkan penyediaan air bersih.
Ini berarti dalam menggunakan instrumen ekonomi untuk alokasi air, maka harus mempertimbangkan masyarakat yang kesulitan untuk mendapatkan air, masyarakat yang hidup dalam kemiskinan, anak-anak, serta masyakakat lokal.
Valuasi air berguna untuk alokasi air, pengelolaan kebutuhan, dan investasi. Meski demikian, banyak masalah yang muncul karena perhitungan ekonomi tidak dapat memperkirakan secara tepat nilai-nilai sosial, keadaan ekonomi dan lingkungan, dan hakikat dari air. Investasi di sektor pengairan membutuhkan dana sekitar 20 milyar-60 milyar dollar AS.
Masalah-masalah yang muncul dalam pengelolaan air merefleksikan perbedaan berbagai kepentingan yang ada. Perbedaan berbagai sektor ekonomi seperti penggunaan air untuk pangan, perkotaan, dan industri harus dikaji secara saksama. Kewajiban membayar air tidak bisa ditetapkan untuk penduduk di semua tempat.
Krisis air sebenarnya adalah krisis pengelolaan. Gabungan dari krisis ini tidak dapat diselesaikan dalam waktu yang singkat. Pengelolaan air akan mendapati situasi yang kompleks dan tidak menentu. Mereka harus mampu menyeimbangkan berbagai kepentingan dalam mendapatkan air. (ANDREAS MARYOTO)
URL Source: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0303/26/ekonomi/196881.htm
http://oasezam.wordpress.com/2010/04/14/dunia-terancam-kesulitan-air-bersih/
0 komentar:
Posting Komentar